PEMBAHASAN
2.1 Perenialisme
Perenialisme berasal dari kata perennial diartikan sebagai continuing throught
the whole year atau lasting for a very long time abadi atau kekal dan baqa
berarti pula tiada akhir. Dengan demikian esensi kepercayaan filsafat
perenialisme adalah berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang bersifat
abadi.
Perenilaisme memandang
bahwasanya pada zaman modern ini telah banyak menimbulkan krisis diberbagai
bidang dalam kehidupan manusia, trutama dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu,
perenialisme memberikan solusi jalan keluar dari kekrisisan tersebut dengan
kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji
ketangguhannya.Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat
perhatiannya kepada kebudayaan yang telah teruji dan tangguh.
Jelaslah bila saja
seandainya perenialisme mengatakan bahwasanya kebudayaan yang ada pada saat ini
berada dalam kondisi yang krisis dan perlu kembali kemasa lampau, karena dengan
dikembalikannya kepada masa lampau, maka kebudayaan sekarang yang dianggap
berada dalam krisis tersebut dapat teratasi, dengan memusatkan perhatiannya
kepada pendidikan pada zaman dahulu dengan sekarang. Perenialisme memandang
pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang.
Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktik
bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang.
Perenialisme merupakan
suatu aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, dimana susunan
tersebut merupakan hasil pemikiran yang memberikan kemungkinan bagi orang untuk
bersikap yang tegas dan lurus. Karena itulah perenialisme berpendapat bahwa
mencari dan menemukan arah tujuan yang jelas
merupakan tugas yang utama filsafat khususnya filsafat pendidikan.
Kaum perenialisme menggunakan jalan mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat pada zaman kuno dan abad pertengahan. Dengan demikian kalangan perenialisme mempelopori gerakan kembali pada hal-hal absolut dan memfokuskan pada ide gagasan yang luhur menyejarah bagi manusia. Ide gagasan seperti ini telah terbukti keabsahan dan kegunaannya karena mampu bertahan dari ujian waktu. Perenialisme menekankan secara penting akal budi, nalar dan karya-karya besar masa lalu. Perenialisme adalah pendidikan klasik dan tradisional dalam suatu bentuk yang diperbaharui yang lebih spesifik dalam formulasi-formulasi teoritisnya karena kemunculannya dilatari oleh ‘musuh’ yang nyata dan berpengaruh dalam progresivisme kependidikan.
Kaum perenialisme menggunakan jalan mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat pada zaman kuno dan abad pertengahan. Dengan demikian kalangan perenialisme mempelopori gerakan kembali pada hal-hal absolut dan memfokuskan pada ide gagasan yang luhur menyejarah bagi manusia. Ide gagasan seperti ini telah terbukti keabsahan dan kegunaannya karena mampu bertahan dari ujian waktu. Perenialisme menekankan secara penting akal budi, nalar dan karya-karya besar masa lalu. Perenialisme adalah pendidikan klasik dan tradisional dalam suatu bentuk yang diperbaharui yang lebih spesifik dalam formulasi-formulasi teoritisnya karena kemunculannya dilatari oleh ‘musuh’ yang nyata dan berpengaruh dalam progresivisme kependidikan.
2.1.1
Latar
Belakang Filsafat
Perenialisme bukan
merupakan suatu aliran baru dalam filsafat, dalam arti perenialisme bukanlah
merupakan suatu bangunan pengetahuan yang menyusun filsafat baru, yang berbeda
dengan filsafat yang telah ada. Teori
atau konsep pendidikan perenialisme
dilatar belakangi oleh filsafat-filsafat
Plato sebagai Bapak Idealisme Klasik, filsafat Aristoteles sebagai Bapak Realisme Klasik, dan filsafat Thomas Aquina yang mencoba memadukan antara filsafat Aristoteles dengan dengan ajaran Gereja Katolik
yang tumbuh pada zamannya (abad pertengahan).
a.
Plato
Plato (427-347
SM), hidup pada zaman kebudayaan yang syarat dengan ketidakpastian, yaitu filsafat sofisme. Ia hidup dalam zaman kebudayaan yang penuh
keraguan, immoralitas, relativisme kaum Sofis, perang dan kejahatan yang
mengancam Athena. Ukuran
kebenaran dan ukuran moral menurut sofisme adalah manusia secara pribadi,
sehingga pada zaman itu tidak ada kepastian dalam moral dan kebenaran,
tergantung pada masing-masing individu. Bahaya perang dan kejahatan mengancam bangsa Athena. Siapa yang bisa
memperoleh kebenaran secara retorik, dialah yang benar. Plato ingin membangun
dan membina tata kehidupan dunia yang ideal, di atas tata kebudayaan yang
tertib dan sejahtera, membina cara yang menuju kebajikan.
Plato berpandangan
bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak berubah karena telah ada pada diri
manusia sejak dari asalnya. Menurut Plato, “dunia ideal”, yang bersumber dari ide mutlak,
yaitu Tuhan. Kebenaran, pengetahuan,
dan nilai sudah ada sebelum manusia lahir yang
semuanya bersumber dari ide yang mutlak tadi. Manusia menemukan kebenaran, pengetahuan, dan
nilai moral, melainkan bagaimana
manusia menemukan semuanya itu. Dengan menggunakan akal atau ratio, semuanya itu dapat ditemukan kembali oleh manusia.
Kebenaran itu ada, yaitu
kebenaran yang bulat dan utuh. Manusia dapat memperoleh kebenaran tersebut
dengan jalan berpikir, bukan dengan pengamatan indera, karena dengan berpikir
itulah manusia dapat mengetahui hakikat kebenaran dan pengetahuan. Dengan
indera, manusia hanya sampai pada memperkirakan. Manusia hendaknya memikirkan,
menyelidiki dan mempelajari dirinya sendiri dan keseluruhan alam semesta.
Esensi realitas,
pengetahuan, dan nilai merupakan manifestasi dari hukum universal yang abadi
dan sempurna, yaitu ide mutlak yang supernatural. Ketertiban sosial hanya akan
mungkin apabila ide tersebut dijadikan standar, atau dijadikan asas normatif
dalam segala aspek kehidupan. Tujuan utama pendidikan adalah membina pemimpin yang sadar akan asas
normatif dan melaksanakannya dalam semua aspek kehidupan.
Masyarakat yang
ideal adalah masyarakat adil sejahtera. Masyarakat ini lahir apabila setiap warga negara melaksanakan fungsi
sosialnya sesuai dengan tingkat kedudukan dan kemampuan pribadinya. Manusia yang terbaik adalah manusia yang
hidup atas dasar prinsip ”Idea
mutlak”. Ide mutlak inilah yang membimbing manusia untuk menemukan
kriteria moral, politik, dan social serta keadilan. Ide mutlak adalah suatu prinsip mutlak yang
menjadi sumber realitas semesta dan hakikat kebenaran abadi yang transendental.
Ide mutlak adalah pencipta alam semesta, yaitu Tuhan.
b.
Aristoteles
Aristoteles
(384-322 SM) adalah murid Plato, namun dalam pemikirannya ia mereaksi terhadap
filsafat gurunya, yaitu idealisme. Hasil pemikirannya disebut filsafat realisme (ralisme klasik). Cara
berpikir Aristoteles berbeda dengan gurunya, Plato, yang menekankan berpikir
rasional spekulatif. Aristoteles mengambil cara berpikir rasional empiris
realistis. Ia mengajarkan
cara berpikir atas prinsip realistis, yang lebih dekat pada alam kehidupan
manusia sehari-hari.
Menurut
Aristoteles, manusia adalah makhluk materi dan rohani sekaligus. Sebagai materi,
ia menyadari bahwa manusia dalam hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan
sosial. Sebagai makhluk rohani, manusia sadar ia akan
menuju pada proses yang lebih tinggi yang menuju kepada manusia ideal, manusia sempurna. Manusia sebagai hewan rasional
memiliki kesadaran intelektual dan spiritual, ia hidup dalam alam materi
sehingga akan menuju pada derajat yang lebih tinggi, yaitu kehidupan yang
abadi, alam super-natural.
c.
Thomas Aquina
Thomas Aquina mencoba
mempertemukan suatu pertentangan yang muncul pada waktu itu, yaitu antara
ajaran Kristen dengan filsafat (sebetulnya dengan filsafat Aristoteles, sebab
pada waktu itu yang dijadikan dasar pemikiran logis adalah filsafat
neoplatonisme dari Plotinus yang dikembangkan leh St. Agustinus). Menurut Aquina,
tidak terdapat pertentangan antara filsafat (khususnya filsafat Aristoteles)
dengan ajaran agama (Kristen). Keduanya dapat berjalan dalam lapangannya
masing-masing. Thomas Aquina secara terus terang dan tanpa ragu-ragu
mendasarkan filsafatnya kepada filsafat Aristoteles.
Pandangan tentang
realitas, ia mengemukakan, bahwa segala sesuatu yang ada, adanya itu karena
diciptakan oleh Tuhan, dan tergantung kepada-Nya. Ia mempertahankan bahwa
Tuhan, bebas dalam menciptakan dunia. Dunia tidak mengalir dari Tuhan bagaikan
air yang mengalir dari sumbernya, seperti halnya yang dipikirkan oleh filosof
neoplatonisme dalam ajaran mereka tentang teori “emanasi”. Thomas aquina menekankan dua hal dalam pemikiran tentang
realitasnya, yaitu : 1) dunia tidak diadakan dari semacam bahan dasar, dan 2)
penciptaan tidak terbatas pada waktu saja, demikian menurut Bertens (1979).
Dalam masalah pengetahuan,
Thomas Aquina mengemukakan bahwa pengetahuan itu diperoleh sebagai persentuhan
dunia luar dan/ oleh akal budi, menjadi pengetahuan. Selain pengetahuan manusia
yang bersumber dari wahyu, manusia dapat memperoleh pengetahuan melalui
pengalaman dan rasionya (di sinilah ia mempertemukan pandangan filsafat
idealisme, realisme, dan ajaran gereja). Filsafat Thomas Aquina disebut tomisme. Kadang-kadang orang tidak
membedakan antara perenialisme dengan neotomisme. Perenialisme adalah sama
dengan neotomisme dalam pendidikan.
2.1.2 Ciri-ciri perenialisme :
1.
Filsafat perenialisme
memberikan jalan menuju pencapaian kepada yang absolute melalui pendekatan
mistik, yaitu melalui intelek yang lebih tinggi dalam memahi secara langsung
tentang tuhan.
2.
Filsafat perenialisme
berusaha menjelaskan adanya sumber dari segala yang ada (being from being),
bahwa segala wujud ini sesungguhnya bersifat relative, ia tidak lebih sebagai
jejak, kreasi atau cerminan dari dia yang esensi dan subtansinya diluar
jangkoang nalar manusia.
2.2 Tujuan Umum
Pendidikan
Membantu anak menyingkap dan
menanamkan kebenaran-kebenaran hakiki. Oleh karena itu kebenaran-kebenaran itu
universal dan konstan, maka kebenaran-kebenaran tersebut hendaknya menjadi
tujuan-tujuan pendidikan yang murni. Kebenaran-kebenaran hakiki dapat dicapai
dengan sebaik-baiknya melalui :
1.
Latihan intelektual secara cermat untuk melatih
pikiran, dan
2.
Latihan karakter sebagai suatu cara mengembangkan
manusia spiritual.
Tujuan
pendidikan menurut tokoh-tokoh dalam aliran perenialisme sebagai berikut :
a.
Menurut Plato,
Tujuan utama pendidikan adalah membina
pemimpin yang sadar akan asas normative dan melaksanakannya dalam semua aspek
kehidupan
b.
Menurut Aristoteles,
Tujuan pendidikan adalah membentuk
kebiasaan pada tingkat pendidikan usia muda dalam menanamkan kesadaran menurut
aturan moral.
c.
Menurut Thomas Aquinas Thomas,
Tujuan pendidikan adalah menuntun
kemampuan-kemampuan yang masih tidur menjadi aktif atau nyata tergantung pada
kesadaran tiap-tiap individu.
2.3 Pandangan Perenialisme Tentang Belajar
Aliran ini meyakini bahwa pendidikan adalah transfer
ilmu pengetahuan tentang kebenaran abadi. Perenialisme lebih cenderung pada
subjeck centred dalam kurikulum maupun dalam metode dan pendekatan yang
ditempuh dalam proses pembelajaran. dalam metode pembelajaran perenialisme
mengutamakan metode yang selalu memberikan kebebasan berpikir peserta didik
baik melalui metode diskusi, problem solving, penelitian dan penemuan.
Tuntutan tertinggi
dalam belajar menurut Perenialisme, adalah latihan dan disiplin mental. Maka,
teori dan praktik pendidikan haruslah mengarah kepada tuntunan tersebut. Teori
dasar dalam belajar menurut Perenialisme terutama:
a. Mental dicipline sebagai teori dasar
Menurut
Perenialisme sependapat latihan dan pembinaan berpikir adalah salah satu
kewajiban tertinggi dalam belajar, atau keutamaan dalam proses belajar. Karena
program pada umumnya dipusatkan kepada pembinaan kemampuan berpikir.
b. Rasionalitas dan Asas Kemerdekaan
Asas
berpikir dan kemerdekaan harus menjadi tujuan utama pendidikan, otoritas
berpikir harus disempurnakan sesempurna mungkin. Dan makna kemerdekaan
pendidikan hendaknya membantu manusia untuk dirinya sendiri yang membedakannya
dari makhluk yang lain. Fungsi belajar harus diabdikan bagi tujuan itu, yaitu
aktualisasi diri manusia sebagai makhluk rasional yang bersifat merdeka.
c. Belajar untuk berpikir
Bagaimana
tugas berat ini dapat dilaksanakan, yakni belajar supaya mampu berpikir.
Perenialisme tetap percaya dengan asas pembentukan kebiasaan dalam permulaan
pendidikan anak. Kecakapan membaca, menulis, dan berhitung merupakan landasan
dasar. Dan berdasarkan pentahapan itu, maka learning to reason menjadi tujuan
pokok pendidikan sekolah menengah dan pendidikan tinggi.
d. Belajar sebagai persiapan hidup
Belajar
untuk mampu berpikir bukanlah semata – mata tujuan kebajikan moral dan
kebajikan intelektual dalam rangka aktualitas sebagai filosofis. Belajar untuk
berpikir berarti pula guna memenuhi fungsi practical philosophy baik etika,
sosial politik, ilmu dan seni.
e. Learning through teaching
Fungsi
guru menurut Perenialisme berbeda dengan esensialisme. Menurut esensialisme
guru sebagai perantara antara bahan dengan anak yang melakukan proses
penyerapan. Dalam pandangan Perenialisme, tugas guru bukanlah perantara antara
dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai murid yang mengalami proses
belajar sementara mengajar. Guru mengembangkan potensi – potensi self
discovery, dan ia melakukan otoritas moral atas murid – muridny, karena ia
seorang profesional yang memiliki kualifikasi dan superior dibandingkan
dengan murid – muridnya. Guru harus mempunyai aktualitas yang lebih.
2.4 Prinsip Pendidikan Perenialisme
2.4.1 Pandangan Perenialisme Mengenai Pendidikan
Filsafat
pendidikan Perenialisme mempunyai empat prinsip dalam pembelajaran secara umum
yang mesti dimiliki manusia, yaitu:
1.
Kebenaran bersifat
universal dan tidak tergantung pada tempat, waktu, dan orang
2.
Pendidikan yang baik
melibatkan pencarian pemahaman atas kebenaran
3.
Kebenaran dapat
ditemukan dalam karya – karya agung
4.
Pendidikan adalah kegiatan
liberal untuk mengembangkan nalar. Sedangkan pandangan – pandangan kurikulumnya
mempengaruhi praktik pendidikan.
Prinsip-prinsip pendidikan perenialisme tersebut
perkembangannya telah mempengaruhi sistem pendidikan modern, seperti pembagian
kurikkulum untuk sekolah dasar, menegah, perguruan tinggi dan pendidikan orang
dewasa.Dalam bidang pendidikan, perenialisme dipengaruhi oleh tokoh-tokoh,
seperti Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Teori atau konsep pendidikan
perenialisme dilatarbelakangi oleh filsafat-filsafat Plato sebagai Bapak
Idealisme Klasik, filsafat Aristoteles sebagai Bapak Realisme Klasik, dan
filsafat Thomas Aquinas yang mencoba memadukan antara filsafat Aristoteles
dengan ajaran Gereja Katolik yang tumbuh pada zamannya.
Plato, dalam hal
pendidikan pokok pikirannya ialah bahwa ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah
manifestasi daripada hukum universal yang abadi dan sempurna, yakni ideal,
sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide tersebut menjadi ukuran,
asas normatif dalam dalam tata pemerintaha. Maka tujuan utama pendidikan adalah
membina pemimpin yang sadar dan mempraktekkan asas-asas normatif tersebut dalam
espek kehidupan.Menurut Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi,
yaitu: nafsu, kemauan dan pikiran.
Pendidikan hendaknya
berorientasi pada potensi tersebut dan kepada masyarakat, agar supaya kebutuhan
yang ada pada setiap lapisan masyarakat dapat terpenuhi.Ide-ide ataupun gagasan
yang dikeluarkan oleh Plato tersebut dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih
mendekatkan pada dunia kenyataan. Bagi Aristoteles, tujuan pendidikan adalah
“kebahagiaan”. Untuk mencapai tujuan pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi
dan intelek harus dikembangkan secara seimbang. Sedangkan
tujuan yang diinginkan oleh Thomas Aquinas adalah sebagai “usaha mewujudkan
kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas aktif dan nyata”.
Pada hal ini peranan guru ialah mengajar, memberi bantuan pada anak-anak didik
untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya.
2.5 Kurikulum dan Peranan Guru
Kurikulum menurut kaum perenialisme harus
menekankan pertumbuhan intelektual siswa pada seni dan sains. Untuk menjadi
“terpelajar secara cultural” para siswa harus berhadapan dengan bidang seni dan
sains yang merupakan karya terbaik yang diciptakan oleh manusia. Dalam kurikulum akan terlihat
materi-materi yang mengarahkan pada kepentingan dan kebutuhan subject didiknya
dalam menumbuh kembangkan potensi berpikir, kreatif yang dimilikinya,
Dua dari pendukung filsafat perenialis
adalah Robert Maynard Hutchins, dan Mortimer Adler. Sebagai rector the
University of Chicago, Hutchin (1963) menegembangkan suatu kurikulum mahasiswa
S1 berdasarkan penelitan terhadap Buku besar bersejarah (Great Book) dan
pembahasan buku-buku klasik. Kegiatan ini dilakukan dalam seminar-seminar
kecil. Kurikulum perenialis Hutchins didasarkan pada tiga asumsi mengenai
pendidikan :
a.
Pendidikan harus mengangkat pencarian kebenaran
manusia yang berlangsung terus menerus. Kebenaran apapun akan selalu benar
dimanapun juga. Kebenaran bersifat universal dan tak terikat waktu
b.
Karena kerja pikiran adalah bersifat intelektual dan
memfokuskan pada gagasan – gagasan, pendidikan juga harus memfokuskan pada
gagasan- gagasan . pengolahan rasionalitas manusia adalah fungsi penting
pendidikan
c.
Pendidikan harus menstimulus para mahasiswa untuk
berfikir secara mendalam mengenai gagasan – gagasan signifikan. Para guru harus
menggunakan pemikiran yang benar dan kritis seperti metoda pokok mereka, dan
mereka harus mensyaratkan hal yang sama pada siswa.
2.6 Peranan Pengajar atau Guru
Guru
mempunyai peranan dominan dalam penyelenggaran kegiatan belajar mengajar di
kelas. Guru hendaknya adalah orang yang ahli bertugas membimbing diskusiyang
akan memudahkan siswa menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang tepat dan wataknya
tanpa cela. Guru dipandang sebagai orang yang mempunyai otoritas dalam suatu
bidang pengetahuan dan keahliannya tidak diragukan.
1. Pendidikan Dasar dan Menengah
a)
Pendidikan sebagai persiapan
Perbedaan
Progresivisme dengan Perenialisme terutama pada sikapnya tentang “education as
preparation”. Dewey dan tokoh-tokoh Progresivisme yang lain menolak pandangan
bahwa sekolah (pendidikan) adalah persiapan untuk kehidupan. Tetapi
Perenialisme berpendapat bahwa pendidikan adalah persiapan bagi kehidupan di
dalam masyarakat. Dasar pandangan ini berpangkal pada ontologi, bahwa anak ada
dalam fase potensialitas menuju aktualitas, menuju kematangan.
b)
Kurikulum Sekolah Menengah
Prinsip kurikulum
pendidikan dasar, bahwa pendidikan sebagai persiapan, berlaku pula bagi
pendidikan mencegah. Perenialisme membedakan kurikulum pendidikan menengah
antara program, “general education” dan pendidikan kejuruan, yang terbuka bagi
anak 12-20 tahun.
2.
Pendidikan Tinggi dan Adult Education
a)
Kurikulum Universitas
Program “general education”
dipersiapkan untuk pendidikan tinggi dan adult education. Pendidikan tinggi
sebagai lanjutan pendidikan menengah dengan program general education yang
telah selesai disiapkan, bagi umur 21 tahun sebab dianggap telah cukup
mempunyai kemampuan melaksanakan program pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi
pada prinsipnya diarahkan untuk mencapai tujuan kebajikan intelektual yang
disebut “The intellectual love of good”.
b)
Kurikulum Pendidikan Orang Dewasa
Tujuan pendidikan
orang dewasa ialah meningkatkan pengetahuan yang telah dimilikinya dalam
pendidikan lama sebelum itu, menetralisir pengaruh-pengaruh jelek yang ada.
Nilai utama pendidikan orang dewasa secara filosofis ialah mengembangkan sikap
bijaksana, guna merenorganisasi pendidikan anak-anaknya, dan membina
kebudayaannya. Malahan Hutchins mengatakan, pendidikan orang dewasa adalah
jalan menyelamatkan kehidupan bangsa-bangsa.
2.7 Ciri Guru Perenialisme
Guru perenialisme memiliki kewenangan yang luas untuk mendidik anak di
sekolah, sebagai orang tua di sekolah. Tidak ada yang namanya orang tua
melaporkan guru anaknya. Orang tua dan guru bisa berhubungan dengan harmonis
dengan orang tua anak didik. Ketika pulang ke rumah, orang tua bisa menjadi
guru yang baik bagi anaknya, masyarakat mampu mengajarkan nilai kehidupan.
1.
Cara Mengajar
Cara mengajar yang diterapkan oleh guru perenialisme umumnya adalah dengan menggunakan penjelasan yang
bertele-tele, yang sepertinya setiap kata yang ada di buku itu dibaca. Dengan
metode ini, pengetahuan yang diterima siswa hanya bersumber dari sang guru saja, Sedangkan
guru sekarang lebih sering hanya menjelaskan secara singkat materinya, lalu
mempersilahkan para siswa untuk bertanya apabila ada kesulitan. Dengan cara
ini, siswa jadi terpacu untuk mengembangkan pengetahuannya di luar sekolah.
Misalnya dengan browsing di Internet, mengikuti kursus, dan lain sebagainya.
Pengetahuan yang didapat pun akan semakin banyak.
2.
Cara Menasihati Siswa
Cara menasihati siswa yang dilakukan oleh guru-guru perenialisme adalah dengan kalimat- kalimat yang biasanya kasar.
Seperti menyinggung kondisi ekonomi keluarganya, penampilannya, dan lain
sebagainya. Hal ini akan membuat para siswa saat itu menjadi berfikir keras
agar tidak akan diledek oleh guru-guru mereka.
Perlakuan berbeda dilakukan guru sekarang. Mereka biasanya menasihati para murid hanya dengan nasihat-nasihat yang halus dan tidak sampai menyinggung perasaan murid tersebut. Cara ini kurang efektif karena murid kadang-kadang hanya mendengarkan di telinga kanan dan keluar di telinga kiri.
Perlakuan berbeda dilakukan guru sekarang. Mereka biasanya menasihati para murid hanya dengan nasihat-nasihat yang halus dan tidak sampai menyinggung perasaan murid tersebut. Cara ini kurang efektif karena murid kadang-kadang hanya mendengarkan di telinga kanan dan keluar di telinga kiri.
3.
Cara Berinteraksi Diluar Kelas
Guru-guru perenialisme dengan gaya mengajarnya kaku, diluar kelas apabila
disapa oleh muridnya, mereka hanya tersenyum lalu berlalu begitu saja. Karena
dalam diri mereka, ada suatu doktrin yang menjelaskan bahwa ada garis pemisah
antara guru dan murid. Jadi, sang murid harus sangat menghormati gurunya, sedangkan
guru sekarang lebih luwes dalam berinteraksi diluar kelas. Misalkan saja ada
murid-muridnya yang menyapa, mereka akan tersenyum lepas dan kadang-kadang
justru bercanda dengan murid-muridnya itu. Seakan akan tidak ada garis batas
antara murid dan guru. Guru pun bisa dijadikan tempat untuk mencurahkan segala
isi hati kita (curhat) tentang sekolah maupun kehidupan sehari-hari kita.
4. Penggunaan Teknologi
Saat teknologi belum secanggih sekarang ini, seorang guru apabila ingin menjelaskan materinya, hanya dengan menggunakan kapur dan papan tulis kayu saja. Atau bila dengan alat bantu, paling jauh hanya menggunakan peta untuk pelajaran geografi.
Hal yang sangat berbeda dilakukan oleh guru sekarang. Guru sekarang lebih senang menuliskan materi ajarnya di sebuah file presentasi yang nanti hasilnya bisa ditampilkan di layar menggunakan LCD proyektor. Disamping lebih praktis, cara ini bisa membantu para siswa untuk mengetahui lebih detail suatu gambar/objek/benda.
Saat teknologi belum secanggih sekarang ini, seorang guru apabila ingin menjelaskan materinya, hanya dengan menggunakan kapur dan papan tulis kayu saja. Atau bila dengan alat bantu, paling jauh hanya menggunakan peta untuk pelajaran geografi.
Hal yang sangat berbeda dilakukan oleh guru sekarang. Guru sekarang lebih senang menuliskan materi ajarnya di sebuah file presentasi yang nanti hasilnya bisa ditampilkan di layar menggunakan LCD proyektor. Disamping lebih praktis, cara ini bisa membantu para siswa untuk mengetahui lebih detail suatu gambar/objek/benda.
5. Pemberian Nilai
Pemberian nilai yang dilakukan oleh
guru perenialisme adalah
selain nilai asli, ada nilai yang diambil secara subyektif oleh guru tersebut.
Hal-hal yang dinilai antara lain adalah kesopanan, etika, dan keantusiasan
siswa tersebut dalam mendalami materi yang diajarkan guru tersebut. Sehingga
dengan cara itu, nilai siswa benar-benar asli sesuai dengan kenyataan yang ada
pada siswa tersebut.
Berbeda dengan guru sekarang. Kebanyakan guru sekarang hanya mengisi kolom nilai seorang murid hanya dari hasil rata-rata ulangan ditambah tugas, dan keaktifannya dalam bertanya ataupun menjawab. Sehingga tidak jarang nilai yang muncul di rapor tidak mencerminkan kemampuan sebenarnya dari murid tersebut.
Guru perenialisme dan guru sekarang ternyata memiliki perbedaan yang sangat menonjol, dan ini menunjukkan ciri khas masing-masing guru.
Berbeda dengan guru sekarang. Kebanyakan guru sekarang hanya mengisi kolom nilai seorang murid hanya dari hasil rata-rata ulangan ditambah tugas, dan keaktifannya dalam bertanya ataupun menjawab. Sehingga tidak jarang nilai yang muncul di rapor tidak mencerminkan kemampuan sebenarnya dari murid tersebut.
Guru perenialisme dan guru sekarang ternyata memiliki perbedaan yang sangat menonjol, dan ini menunjukkan ciri khas masing-masing guru.
2.8
Potret
Guru Perenialis
Guru sebagai orang yang memiliki otoritas
keilmuan tertentu yang siap membimbing dan mengarahkan kemampuan intelektual
dan spiritual anak didik.
Ny. Berstein mengajar
Bahasa Inggris di SMU sejak pertengahan tahun 1960-an. Di antara para siswa dan
juga para guru, ia memiliki suatu reputasi sebagai orang yang banyak menuntut.
Selama pertengahan 1970-an, ia memiliki waktu yang sulit untuk berhubungan
dengan siswa yang secara agresif menuntut diajar pelajaran-pelajaran yang
“relevan”. Sebagai seorang lulusan universitas top di Timur Amerika dimana ia
menerima suatu pendidikan klasik dan liberal, Nyonya Berstein menolak untuk
memperlonggar penekanan pada karya-karya besar kesusastraan di kelasnya yang ia
rasa perlu diketahui oleh para siswanya, seperti Beowulf, Chaucer, Dickens, dan
Shakespeare.
Ny. Berstein yakin bahwa kerja dan usaha keras itu
penting jika seseorang ingin memperoleh pendidikan yang baik. Akibatnya, ia
memberi siswa kesempatan yang sangat sedikit untuk berbuat/bertindak salah, dan
ia tampak tahan dengan keluhan siswa yang dilakukan secara terbuka mengenai
beban belajarnya. Ia sangat bersemangat ketika ia berbicara mengenai nilai
karya klasik pada para siswa yang sedang bersiap-siap hidup sebagai orang
dewasa di abad kedua puluh satu.
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
Perenilaisme memandang
bahwasanya pada zaman modern ini telah banyak menimbulkan krisis diberbagai
bidang dalam kehidupan manusia.
Perenialisme memandang pendidikan bahwa pendidikan itu harus menurut budaya
yang otoriter dan melibatkan pencarian
pemahaman atas kebenaran dan pengetahuan yang diterima siswa hanya bersumber dari
sang guru saja.
1.2
Saran
Kami mengharapkan makalah
yang akan datang menjadi
lebih baik lagi. Menurut penilaian kami, makalah ini berdampak cukup baik bagi para mahasiswa
khususnya, karena disamping
dapat menjadi sarana pembelajaran bagi mahasiswa, kita juga mempelajari secara sepintas tentang makalah yang kita pelajari saat
ini. Kami
harap tugas makalah dapat setiap tahun untuk dijadikan tugas
rutinitas, agar para mahasiswa mendapat pengalaman serta dapat
mengimplentasikan pelajaran di dalam kelas dengan kenyataan yang ada di
lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Ramayulis
dan Samsul nizar. 2008. Filsafat Pendiidikan. Jakarta : Kalam mulya.
Ramayulis.
2006. Filsafat Pendidikan Agama. Jakarta : kalam mulya.
Sadulloh,
uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung : Alfabeta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar