Kamis, 14 November 2013

Filsafat Pendidikan Perenialisme



PEMBAHASAN
2.1 Perenialisme
Perenialisme berasal dari kata perennial diartikan sebagai continuing throught the whole year atau lasting for a very long time abadi atau kekal dan baqa berarti pula tiada akhir. Dengan demikian esensi kepercayaan filsafat perenialisme adalah berpegang pada nilai-nilai atau norma-norma yang bersifat abadi.
Perenilaisme memandang bahwasanya pada zaman modern ini telah banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang dalam kehidupan manusia, trutama dalam bidang pendidikan. Oleh karena itu, perenialisme memberikan solusi jalan keluar dari kekrisisan tersebut dengan kembali kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji ketangguhannya.Untuk itulah pendidikan harus lebih banyak mengarahkan pusat perhatiannya kepada kebudayaan yang telah teruji dan tangguh.
Jelaslah bila saja seandainya perenialisme mengatakan bahwasanya kebudayaan yang ada pada saat ini berada dalam kondisi yang krisis dan perlu kembali kemasa lampau, karena dengan dikembalikannya kepada masa lampau, maka kebudayaan sekarang yang dianggap berada dalam krisis tersebut dapat teratasi, dengan memusatkan perhatiannya kepada pendidikan pada zaman dahulu dengan sekarang. Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses mengembalikan keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang berpengaruh baik teori maupun praktik bagi kebudayaan dan pendidikan zaman sekarang.
Perenialisme merupakan suatu aliran filsafat yang susunannya mempunyai kesatuan, dimana susunan tersebut merupakan hasil pemikiran yang memberikan kemungkinan bagi orang untuk bersikap yang tegas dan lurus. Karena itulah perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan arah  tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama filsafat khususnya filsafat pendidikan.
            Kaum perenialisme menggunakan jalan mundur ke belakang, dengan menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan hidup yang kukuh, kuat pada zaman kuno dan abad pertengahan. Dengan
 demikian  kalangan perenialisme mempelopori gerakan kembali pada hal-hal absolut dan memfokuskan pada ide gagasan yang luhur menyejarah bagi manusia. Ide gagasan seperti ini telah terbukti keabsahan dan  kegunaannya karena mampu bertahan dari ujian waktu. Perenialisme menekankan secara penting akal budi, nalar dan karya-karya besar masa lalu. Perenialisme adalah pendidikan klasik dan tradisional dalam suatu bentuk yang diperbaharui yang lebih spesifik dalam formulasi-formulasi teoritisnya karena kemunculannya dilatari oleh ‘musuh’ yang nyata dan berpengaruh dalam progresivisme kependidikan.

2.1.1        Latar Belakang Filsafat
Perenialisme bukan merupakan suatu aliran baru dalam filsafat, dalam arti perenialisme bukanlah merupakan suatu bangunan pengetahuan yang menyusun filsafat baru, yang berbeda dengan filsafat yang telah ada. Teori atau konsep pendidikan  perenialisme dilatar belakangi oleh filsafat-filsafat Plato sebagai Bapak Idealisme Klasik, filsafat Aristoteles sebagai Bapak Realisme Klasik, dan filsafat Thomas Aquina yang mencoba memadukan antara filsafat Aristoteles dengan dengan ajaran Gereja Katolik yang tumbuh pada zamannya (abad pertengahan).
a.      Plato
Plato (427-347 SM), hidup pada zaman kebudayaan yang syarat dengan ketidakpastian, yaitu  filsafat sofisme. Ia hidup dalam zaman kebudayaan yang penuh keraguan, immoralitas, relativisme kaum Sofis, perang dan kejahatan yang mengancam Athena. Ukuran kebenaran dan ukuran moral menurut sofisme adalah manusia secara pribadi, sehingga pada zaman itu tidak ada kepastian dalam moral dan kebenaran, tergantung pada masing-masing individu. Bahaya perang dan kejahatan  mengancam bangsa Athena. Siapa yang bisa memperoleh kebenaran secara retorik, dialah yang benar. Plato ingin membangun dan membina tata kehidupan dunia yang ideal, di atas tata kebudayaan yang tertib dan sejahtera, membina cara yang menuju kebajikan.
Plato berpandangan bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak berubah karena telah ada pada diri manusia sejak dari asalnya. Menurut Plato, dunia ideal, yang bersumber dari  ide mutlak, yaitu Tuhan. Kebenaran, pengetahuan, dan  nilai sudah ada sebelum manusia lahir yang semuanya bersumber dari ide yang mutlak tadi. Manusia menemukan kebenaran, pengetahuan, dan nilai moral, melainkan bagaimana manusia menemukan semuanya itu. Dengan menggunakan akal atau ratio, semuanya itu dapat ditemukan kembali oleh manusia.
Kebenaran itu ada, yaitu kebenaran yang bulat dan utuh. Manusia dapat memperoleh kebenaran tersebut dengan jalan berpikir, bukan dengan pengamatan indera, karena dengan berpikir itulah manusia dapat mengetahui hakikat kebenaran dan pengetahuan. Dengan indera, manusia hanya sampai pada memperkirakan. Manusia hendaknya memikirkan, menyelidiki dan mempelajari dirinya sendiri dan keseluruhan alam semesta.
Esensi realitas, pengetahuan, dan nilai merupakan manifestasi dari hukum universal yang abadi dan sempurna, yaitu ide mutlak yang supernatural. Ketertiban sosial hanya akan mungkin apabila ide tersebut dijadikan standar, atau dijadikan asas normatif dalam segala aspek kehidupan. Tujuan utama pendidikan adalah membina pemimpin yang sadar akan asas normatif dan melaksanakannya dalam semua aspek kehidupan.
Masyarakat yang ideal adalah masyarakat adil sejahtera. Masyarakat ini lahir apabila setiap warga negara melaksanakan fungsi sosialnya sesuai dengan tingkat kedudukan dan kemampuan pribadinya. Manusia yang terbaik adalah manusia yang hidup atas dasar prinsip ”Idea mutlak. Ide mutlak inilah yang membimbing manusia untuk menemukan kriteria moral, politik, dan social serta keadilan. Ide mutlak adalah suatu prinsip mutlak yang menjadi sumber realitas semesta dan hakikat kebenaran abadi yang transendental. Ide mutlak adalah pencipta alam semesta, yaitu Tuhan.


b.      Aristoteles
Aristoteles (384-322 SM) adalah murid Plato, namun dalam pemikirannya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya, yaitu idealisme. Hasil pemikirannya disebut filsafat realisme (ralisme klasik). Cara berpikir Aristoteles berbeda dengan gurunya, Plato, yang menekankan berpikir rasional spekulatif. Aristoteles mengambil cara berpikir rasional empiris realistis. Ia mengajarkan cara berpikir atas prinsip realistis, yang lebih dekat pada alam kehidupan manusia sehari-hari.
Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk materi dan rohani sekaligus. Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam hidupnya berada dalam kondisi alam materi dan sosial. Sebagai makhluk rohani, manusia sadar ia akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang menuju kepada manusia ideal, manusia sempurna. Manusia sebagai hewan rasional memiliki kesadaran intelektual dan spiritual, ia hidup dalam alam materi sehingga akan menuju pada derajat yang lebih tinggi, yaitu kehidupan yang abadi, alam super-natural.

c.       Thomas Aquina
Thomas Aquina mencoba mempertemukan suatu pertentangan yang muncul pada waktu itu, yaitu antara ajaran Kristen dengan filsafat (sebetulnya dengan filsafat Aristoteles, sebab pada waktu itu yang dijadikan dasar pemikiran logis adalah filsafat neoplatonisme dari Plotinus yang dikembangkan leh St. Agustinus). Menurut Aquina, tidak terdapat pertentangan antara filsafat (khususnya filsafat Aristoteles) dengan ajaran agama (Kristen). Keduanya dapat berjalan dalam lapangannya masing-masing. Thomas Aquina secara terus terang dan tanpa ragu-ragu mendasarkan filsafatnya kepada filsafat Aristoteles.
Pandangan tentang realitas, ia mengemukakan, bahwa segala sesuatu yang ada, adanya itu karena diciptakan oleh Tuhan, dan tergantung kepada-Nya. Ia mempertahankan bahwa Tuhan, bebas dalam menciptakan dunia. Dunia tidak mengalir dari Tuhan bagaikan air yang mengalir dari sumbernya, seperti halnya yang dipikirkan oleh filosof neoplatonisme dalam ajaran mereka tentang teori “emanasi”. Thomas aquina menekankan dua hal dalam pemikiran tentang realitasnya, yaitu : 1) dunia tidak diadakan dari semacam bahan dasar, dan 2) penciptaan tidak terbatas pada waktu saja, demikian menurut Bertens (1979).
Dalam masalah pengetahuan, Thomas Aquina mengemukakan bahwa pengetahuan itu diperoleh sebagai persentuhan dunia luar dan/ oleh akal budi, menjadi pengetahuan. Selain pengetahuan manusia yang bersumber dari wahyu, manusia dapat memperoleh pengetahuan melalui pengalaman dan rasionya (di sinilah ia mempertemukan pandangan filsafat idealisme, realisme, dan ajaran gereja). Filsafat Thomas Aquina disebut tomisme. Kadang-kadang orang tidak membedakan antara perenialisme dengan neotomisme. Perenialisme adalah sama dengan neotomisme dalam pendidikan.

2.1.2  Ciri-ciri perenialisme :
1.      Filsafat perenialisme memberikan jalan menuju pencapaian kepada yang absolute melalui pendekatan mistik, yaitu melalui intelek yang lebih tinggi dalam memahi secara langsung tentang tuhan.
2.      Filsafat perenialisme berusaha menjelaskan adanya sumber dari segala yang ada (being from being), bahwa segala wujud ini sesungguhnya bersifat relative, ia tidak lebih sebagai jejak, kreasi atau cerminan dari dia yang esensi dan subtansinya diluar jangkoang nalar manusia.

2.2 Tujuan Umum Pendidikan
            Membantu anak menyingkap dan menanamkan kebenaran-kebenaran hakiki. Oleh karena itu kebenaran-kebenaran itu universal dan konstan, maka kebenaran-kebenaran tersebut hendaknya menjadi tujuan-tujuan pendidikan yang murni. Kebenaran-kebenaran hakiki dapat dicapai dengan sebaik-baiknya melalui :
1.      Latihan intelektual secara cermat untuk melatih pikiran, dan
2.      Latihan karakter sebagai suatu cara mengembangkan manusia spiritual.
Tujuan pendidikan menurut tokoh-tokoh dalam aliran perenialisme sebagai berikut :
a.       Menurut Plato,
Tujuan utama pendidikan adalah membina pemimpin yang sadar akan asas normative dan melaksanakannya dalam semua aspek kehidupan
b.      Menurut Aristoteles,
Tujuan pendidikan adalah membentuk kebiasaan pada tingkat pendidikan usia muda dalam menanamkan kesadaran menurut aturan moral.
c.       Menurut Thomas Aquinas Thomas,
Tujuan pendidikan adalah menuntun kemampuan-kemampuan yang masih tidur menjadi aktif atau nyata tergantung pada kesadaran tiap-tiap individu.

2.3  Pandangan Perenialisme Tentang Belajar
Aliran ini meyakini bahwa pendidikan adalah transfer ilmu pengetahuan tentang kebenaran abadi. Perenialisme lebih cenderung pada subjeck centred dalam kurikulum maupun dalam metode dan pendekatan yang ditempuh dalam proses pembelajaran. dalam metode pembelajaran perenialisme mengutamakan metode yang selalu memberikan kebebasan berpikir peserta didik baik melalui metode diskusi, problem solving, penelitian dan penemuan.
Tuntutan tertinggi dalam belajar menurut Perenialisme, adalah latihan dan disiplin mental. Maka, teori dan praktik pendidikan haruslah mengarah kepada tuntunan tersebut. Teori dasar dalam belajar menurut Perenialisme terutama:
a.       Mental dicipline sebagai teori dasar
Menurut Perenialisme sependapat latihan dan pembinaan berpikir adalah salah satu kewajiban tertinggi dalam belajar, atau keutamaan dalam proses belajar. Karena program pada umumnya dipusatkan kepada pembinaan kemampuan berpikir.
b.      Rasionalitas dan Asas Kemerdekaan
Asas berpikir dan kemerdekaan harus menjadi tujuan utama pendidikan, otoritas berpikir harus disempurnakan sesempurna mungkin. Dan makna kemerdekaan pendidikan hendaknya membantu manusia untuk dirinya sendiri yang membedakannya dari makhluk yang lain. Fungsi belajar harus diabdikan bagi tujuan itu, yaitu aktualisasi diri manusia sebagai makhluk rasional yang bersifat merdeka.
c.       Belajar untuk berpikir
Bagaimana tugas berat ini dapat dilaksanakan, yakni belajar supaya mampu berpikir. Perenialisme tetap percaya dengan asas pembentukan kebiasaan dalam permulaan pendidikan anak. Kecakapan membaca, menulis, dan berhitung merupakan landasan dasar. Dan berdasarkan pentahapan itu, maka learning to reason menjadi tujuan pokok pendidikan sekolah menengah dan pendidikan tinggi.
d.      Belajar sebagai persiapan hidup
Belajar untuk mampu berpikir bukanlah semata – mata tujuan kebajikan moral dan kebajikan intelektual dalam rangka aktualitas sebagai filosofis. Belajar untuk berpikir berarti pula guna memenuhi fungsi practical philosophy baik etika, sosial politik, ilmu dan seni.
e.       Learning through teaching
Fungsi guru menurut Perenialisme berbeda dengan esensialisme. Menurut esensialisme guru sebagai perantara antara bahan dengan anak yang melakukan proses penyerapan. Dalam pandangan Perenialisme, tugas guru bukanlah perantara antara dunia dengan jiwa anak, melainkan guru juga sebagai murid yang mengalami proses belajar sementara mengajar. Guru mengembangkan potensi – potensi self discovery, dan ia melakukan otoritas moral atas murid – muridny, karena ia seorang profesional yang memiliki kualifikasi dan superior dibandingkan dengan murid – muridnya. Guru harus mempunyai aktualitas yang lebih.

2.4 Prinsip Pendidikan Perenialisme
2.4.1 Pandangan Perenialisme Mengenai Pendidikan
Filsafat pendidikan Perenialisme mempunyai empat prinsip dalam pembelajaran secara umum yang mesti dimiliki manusia, yaitu:
1.      Kebenaran bersifat universal dan tidak tergantung pada tempat, waktu, dan orang
2.      Pendidikan yang baik melibatkan pencarian pemahaman atas kebenaran
3.      Kebenaran dapat ditemukan dalam karya – karya agung
4.      Pendidikan adalah kegiatan liberal untuk mengembangkan nalar. Sedangkan pandangan – pandangan kurikulumnya mempengaruhi praktik pendidikan.
Prinsip-prinsip pendidikan perenialisme tersebut perkembangannya telah mempengaruhi sistem pendidikan modern, seperti pembagian kurikkulum untuk sekolah dasar, menegah, perguruan tinggi dan pendidikan orang dewasa.Dalam bidang pendidikan, perenialisme dipengaruhi oleh tokoh-tokoh, seperti Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Teori atau konsep pendidikan perenialisme dilatarbelakangi oleh filsafat-filsafat Plato sebagai Bapak Idealisme Klasik, filsafat Aristoteles sebagai Bapak Realisme Klasik, dan filsafat Thomas Aquinas yang mencoba memadukan antara filsafat Aristoteles dengan ajaran Gereja Katolik yang tumbuh pada zamannya.
Plato, dalam hal pendidikan pokok pikirannya ialah bahwa ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adalah manifestasi daripada hukum universal yang abadi dan sempurna, yakni ideal, sehingga ketertiban sosial hanya akan mungkin bila ide tersebut menjadi ukuran, asas normatif dalam dalam tata pemerintaha. Maka tujuan utama pendidikan adalah membina pemimpin yang sadar dan mempraktekkan asas-asas normatif tersebut dalam espek kehidupan.Menurut Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi, yaitu: nafsu, kemauan dan pikiran.
Pendidikan hendaknya berorientasi pada potensi tersebut dan kepada masyarakat, agar supaya kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat dapat terpenuhi.Ide-ide ataupun gagasan yang dikeluarkan oleh Plato tersebut dikembangkan oleh Aristoteles dengan lebih mendekatkan pada dunia kenyataan. Bagi Aristoteles, tujuan pendidikan adalah “kebahagiaan”. Untuk mencapai tujuan pendidikan itu, maka aspek jasmani, emosi dan intelek harus dikembangkan secara seimbang. Sedangkan tujuan yang diinginkan oleh Thomas Aquinas adalah sebagai “usaha mewujudkan kapasitas yang ada dalam individu agar menjadi aktualitas aktif dan nyata”. Pada hal ini peranan guru ialah mengajar, memberi bantuan pada anak-anak didik untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya.

2.5 Kurikulum dan Peranan Guru
Kurikulum menurut kaum perenialisme harus menekankan pertumbuhan intelektual siswa pada seni dan sains. Untuk menjadi “terpelajar secara cultural” para siswa harus berhadapan dengan bidang seni dan sains yang merupakan karya terbaik yang diciptakan oleh manusia. Dalam kurikulum akan terlihat materi-materi yang mengarahkan pada kepentingan dan kebutuhan subject didiknya dalam menumbuh kembangkan potensi berpikir, kreatif yang dimilikinya,
Dua dari pendukung filsafat perenialis adalah Robert Maynard Hutchins, dan Mortimer Adler. Sebagai rector the University of Chicago, Hutchin (1963) menegembangkan suatu kurikulum mahasiswa S1 berdasarkan penelitan terhadap Buku besar bersejarah (Great Book) dan pembahasan buku-buku klasik. Kegiatan ini dilakukan dalam seminar-seminar kecil. Kurikulum perenialis Hutchins didasarkan pada tiga asumsi mengenai pendidikan :
a.       Pendidikan harus mengangkat pencarian kebenaran manusia yang berlangsung terus menerus. Kebenaran apapun akan selalu benar dimanapun juga. Kebenaran bersifat universal dan tak terikat waktu
b.      Karena kerja pikiran adalah bersifat intelektual dan memfokuskan pada gagasan – gagasan, pendidikan juga harus memfokuskan pada gagasan- gagasan . pengolahan rasionalitas manusia adalah fungsi penting pendidikan
c.       Pendidikan harus menstimulus para mahasiswa untuk berfikir secara mendalam mengenai gagasan – gagasan signifikan. Para guru harus menggunakan pemikiran yang benar dan kritis seperti metoda pokok mereka, dan mereka harus mensyaratkan hal yang sama pada siswa.

2.6 Peranan Pengajar atau Guru
            Guru mempunyai peranan dominan dalam penyelenggaran kegiatan belajar mengajar di kelas. Guru hendaknya adalah orang yang ahli bertugas membimbing diskusiyang akan memudahkan siswa menyimpulkan kebenaran-kebenaran yang tepat dan wataknya tanpa cela. Guru dipandang sebagai orang yang mempunyai otoritas dalam suatu bidang pengetahuan dan keahliannya tidak diragukan.
1.      Pendidikan Dasar dan Menengah
a)      Pendidikan sebagai persiapan
Perbedaan Progresivisme dengan Perenialisme terutama pada sikapnya tentang “education as preparation”. Dewey dan tokoh-tokoh Progresivisme yang lain menolak pandangan bahwa sekolah (pendidikan) adalah persiapan untuk kehidupan. Tetapi Perenialisme berpendapat bahwa pendidikan adalah persiapan bagi kehidupan di dalam masyarakat. Dasar pandangan ini berpangkal pada ontologi, bahwa anak ada dalam fase potensialitas menuju aktualitas, menuju kematangan.
b)      Kurikulum Sekolah Menengah
Prinsip kurikulum pendidikan dasar, bahwa pendidikan sebagai persiapan, berlaku pula bagi pendidikan mencegah. Perenialisme membedakan kurikulum pendidikan menengah antara program, “general education” dan pendidikan kejuruan, yang terbuka bagi anak 12-20 tahun.

2.      Pendidikan Tinggi dan Adult Education
a)      Kurikulum Universitas
Program “general education” dipersiapkan untuk pendidikan tinggi dan adult education. Pendidikan tinggi sebagai lanjutan pendidikan menengah dengan program general education yang telah selesai disiapkan, bagi umur 21 tahun sebab dianggap telah cukup mempunyai kemampuan melaksanakan program pendidikan tinggi. Pendidikan tinggi pada prinsipnya diarahkan untuk mencapai tujuan kebajikan intelektual yang disebut “The intellectual love of good”.
b)      Kurikulum Pendidikan Orang Dewasa
Tujuan pendidikan orang dewasa ialah meningkatkan pengetahuan yang telah dimilikinya dalam pendidikan lama sebelum itu, menetralisir pengaruh-pengaruh jelek yang ada. Nilai utama pendidikan orang dewasa secara filosofis ialah mengembangkan sikap bijaksana, guna merenorganisasi pendidikan anak-anaknya, dan membina kebudayaannya. Malahan Hutchins mengatakan, pendidikan orang dewasa adalah jalan menyelamatkan kehidupan bangsa-bangsa.

2.7 Ciri Guru Perenialisme
Guru perenialisme memiliki kewenangan yang luas untuk mendidik anak di sekolah, sebagai orang tua di sekolah. Tidak ada yang namanya orang tua melaporkan guru anaknya. Orang tua dan guru bisa berhubungan dengan harmonis dengan orang tua anak didik. Ketika pulang ke rumah, orang tua bisa menjadi guru yang baik bagi anaknya, masyarakat mampu mengajarkan nilai kehidupan.
1.      Cara Mengajar
Cara mengajar yang diterapkan oleh guru perenialisme umumnya adalah dengan menggunakan penjelasan yang bertele-tele, yang sepertinya setiap kata yang ada di buku itu dibaca. Dengan metode ini, pengetahuan yang diterima siswa hanya bersumber dari sang guru saja, Sedangkan guru sekarang lebih sering hanya menjelaskan secara singkat materinya, lalu mempersilahkan para siswa untuk bertanya apabila ada kesulitan. Dengan cara ini, siswa jadi terpacu untuk mengembangkan pengetahuannya di luar sekolah. Misalnya dengan browsing di Internet, mengikuti kursus, dan lain sebagainya. Pengetahuan yang didapat pun akan semakin banyak.

2.      Cara Menasihati Siswa
Cara menasihati siswa yang dilakukan oleh guru-guru perenialisme adalah dengan kalimat- kalimat yang biasanya kasar. Seperti menyinggung kondisi ekonomi keluarganya, penampilannya, dan lain sebagainya. Hal ini akan membuat para siswa saat itu menjadi berfikir keras agar tidak akan diledek oleh guru-guru mereka.
Perlakuan berbeda dilakukan guru sekarang. Mereka biasanya menasihati para murid hanya dengan nasihat-nasihat yang halus dan tidak sampai menyinggung perasaan murid tersebut. Cara ini kurang efektif karena murid kadang-kadang hanya mendengarkan di telinga kanan dan keluar di telinga kiri.
3.      Cara Berinteraksi Diluar Kelas

Guru-guru perenialisme dengan gaya mengajarnya kaku, diluar kelas apabila disapa oleh muridnya, mereka hanya tersenyum lalu berlalu begitu saja. Karena dalam diri mereka, ada suatu doktrin yang menjelaskan bahwa ada garis pemisah antara guru dan murid. Jadi, sang murid harus sangat menghormati gurunya, sedangkan guru sekarang lebih luwes dalam berinteraksi diluar kelas. Misalkan saja ada murid-muridnya yang menyapa, mereka akan tersenyum lepas dan kadang-kadang justru bercanda dengan murid-muridnya itu. Seakan akan tidak ada garis batas antara murid dan guru. Guru pun bisa dijadikan tempat untuk mencurahkan segala isi hati kita (curhat) tentang sekolah maupun kehidupan sehari-hari kita.

4. Penggunaan Teknologi
Saat teknologi belum secanggih sekarang ini, seorang guru apabila ingin menjelaskan materinya, hanya dengan menggunakan kapur dan papan tulis kayu saja. Atau bila dengan alat bantu, paling jauh hanya menggunakan peta untuk pelajaran geografi.
Hal yang sangat berbeda dilakukan oleh guru sekarang. Guru sekarang lebih senang menuliskan materi ajarnya di sebuah file presentasi yang nanti hasilnya bisa ditampilkan di layar menggunakan LCD proyektor. Disamping lebih praktis, cara ini bisa membantu para siswa untuk mengetahui lebih detail suatu gambar/objek/benda.

5. Pemberian Nilai
Pemberian nilai yang dilakukan oleh guru perenialisme adalah selain nilai asli, ada nilai yang diambil secara subyektif oleh guru tersebut. Hal-hal yang dinilai antara lain adalah kesopanan, etika, dan keantusiasan siswa tersebut dalam mendalami materi yang diajarkan guru tersebut. Sehingga dengan cara itu, nilai siswa benar-benar asli sesuai dengan kenyataan yang ada pada siswa tersebut.

Berbeda dengan guru sekarang. Kebanyakan guru sekarang hanya mengisi kolom nilai seorang murid hanya dari hasil rata-rata ulangan ditambah tugas, dan keaktifannya dalam bertanya ataupun menjawab. Sehingga tidak jarang nilai yang muncul di rapor tidak mencerminkan kemampuan sebenarnya dari murid tersebut.
Guru
perenialisme dan guru sekarang ternyata memiliki perbedaan yang sangat menonjol, dan ini menunjukkan ciri khas masing-masing guru.

2.8    Potret Guru Perenialis
Guru sebagai orang yang memiliki otoritas keilmuan tertentu yang siap membimbing dan mengarahkan kemampuan intelektual dan spiritual anak didik.
Ny. Berstein mengajar Bahasa Inggris di SMU sejak pertengahan tahun 1960-an. Di antara para siswa dan juga para guru, ia memiliki suatu reputasi sebagai orang yang banyak menuntut. Selama pertengahan 1970-an, ia memiliki waktu yang sulit untuk berhubungan dengan siswa yang secara agresif menuntut diajar pelajaran-pelajaran yang “relevan”. Sebagai seorang lulusan universitas top di Timur Amerika dimana ia menerima suatu pendidikan klasik dan liberal, Nyonya Berstein menolak untuk memperlonggar penekanan pada karya-karya besar kesusastraan di kelasnya yang ia rasa perlu diketahui oleh para siswanya, seperti Beowulf, Chaucer, Dickens, dan Shakespeare.
Ny. Berstein yakin bahwa kerja dan usaha keras itu penting jika seseorang ingin memperoleh pendidikan yang baik. Akibatnya, ia memberi siswa kesempatan yang sangat sedikit untuk berbuat/bertindak salah, dan ia tampak tahan dengan keluhan siswa yang dilakukan secara terbuka mengenai beban belajarnya. Ia sangat bersemangat ketika ia berbicara mengenai nilai karya klasik pada para siswa yang sedang bersiap-siap hidup sebagai orang dewasa di abad kedua puluh satu.





BAB III
PENUTUP
1.1  Kesimpulan
Perenilaisme memandang bahwasanya pada zaman modern ini telah banyak menimbulkan krisis diberbagai bidang dalam kehidupan manusia. Perenialisme memandang pendidikan bahwa pendidikan itu harus menurut budaya yang otoriter dan melibatkan pencarian pemahaman atas kebenaran dan pengetahuan yang diterima siswa hanya bersumber dari sang guru saja.
1.2  Saran
Kami mengharapkan makalah yang akan datang menjadi lebih baik lagi. Menurut penilaian kami, makalah ini berdampak cukup baik bagi para mahasiswa khususnya, karena disamping dapat menjadi sarana pembelajaran bagi mahasiswa, kita juga mempelajari secara sepintas tentang makalah yang kita pelajari saat ini. Kami harap tugas makalah dapat setiap tahun untuk dijadikan tugas rutinitas, agar para mahasiswa mendapat pengalaman serta dapat mengimplentasikan pelajaran di dalam kelas dengan kenyataan yang ada di lapangan.


DAFTAR PUSTAKA

Ramayulis dan Samsul nizar. 2008. Filsafat Pendiidikan. Jakarta : Kalam mulya.
Ramayulis. 2006. Filsafat Pendidikan Agama. Jakarta : kalam mulya.
Sadulloh, uyoh. 2003. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung : Alfabeta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar